Rabu, 28 Mei 2014

Regulasi Asuransi Syariah Di Indonesia



BAB 1
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Menurut penulis asuransi syariah kini, banyak di buru masyrakat dan telah semakin di nikmati , ini bisa dilihat dari respons masyarakat yang berbondong-bondong menjadi nasabah asuransi syariah. Kini nyaris semua perusahaan asuransi membentuk unit syariah. Bahkan asuransi asing juga ikut membuka unit syariah. Ini dikarenakan asuransi syariah mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan asuransi konvensional. Perbedaan dan keunggulannya terdapat pada prosedur penyimpanan dana, operasional dana asuransi,dan akadnya. Asuransi syariah sudah didirikan sejak 10 tahun yang lalu, dan hampir setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. PT. Asuransi Syariah Takaful menunjukan perkembangan yang cukup pesat, termasuk di wilayah Indonesia Timur, dari segi premi nasabah yang masuk di asuransi, menunjukan peningkatan 50% di Makassar tahun 2006. Bahkan tahun 2006 juga di targetkan harus meningkat menjadi dua kali lipat
B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana regulasi asuransi syariah di indonesia?
2.      Bagaimana undang-undang tentang penyelenggaraan usaha perasuransian?
3.      Bagaiamana fatwa DSN tentang asuransi?
C.   Tujuan Masalah
1.      Regulasi asuransi syariah di indonesia
2.      Undang-undang tentang penyelenggaraan usaha perasuransian
3.      Fatwa DSN tentang asuransi


BAB II
PEBAHASAN
1.     Regulasi Asuransi Syariah di indonesia
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU No.2 Tahun 1922 tentang Usaha Perasuransian yang sebenarnya kurang mengkomodasi asuransi islam di indonesia karena tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Pasal Undang-Undang ini yang menyebutkan definisi asuransi sebagai berikut:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih; dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang dipertanggungkan”.
Dalam pasal tersebut tampak masih adanya gambaran perjanjian dua pihak antara penanggung dan tertanggung untuk memberikan pembayaran atas timbulnya suatu peristiwa yang tidak pasti yang diperjanjikan. Dalam KUH Perdata (yang merupakan terjemahan dari Burgelijk Wetbook Hindia-Belanda), perjanjian pertanggungan ini merupakan salah satu dari “perjanjian untung-untungan” yang diatur pada pasal KUH Perdata yang disejajar dengan perjudian.
Adapun bunyi Pasal 1774 KUH Perdata adalah “Suatu perjanjian untung-untungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untung ruginya. baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti. Demikian adalah Perjanjian pertanggungan; Bunga Cagak Hidup; perjudian dan pertaruhan. Dalam pasal in, kegiatan asuransi di istilahkan dengan pertanggungan.
Pengertian “peristiwa yang tidak pasti” dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1922 ini hanya memperluas penjabaran mengenai pengertian “peristiwa yang tidak tentu” dari definisi asuransi yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Definisi asuransi dalam KUHD terdapat dalam bab kesembilan tentang asuransi atau pertanggungan atau umumnya yaitu pada Pasal 246 yang berbunyi:
”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”
Dari definisi tersebut disimpulkan:
a.    Pihak pertama sebagai pihak yang ditanggung, mengalihkan beban atau risikonya kepada pihak penanggung.
b.    Pihak yang ditanggung membeli hak untuk menerima ganti rugi, atau jaminan dari yang menjualnya yaitu pihak penanggung menerima sejumlah uang yang disebut premi.
c.    Pihak penanggung mengharapkan keuntungan dari pembelinya, dan dengan keuntungan ini ia bersedia menanggung kerugian yang mungkin ditimbulkan akibat bahaya-bahaya yang menjadi pokok pertanggungan
d.   Kerugian yang timbul harus merupakan suatu hal yang tak terduga-duga, dan merupakan suatu bahaya yang tidak dapat diharapkan atau dinantikan dengan pasti, dengan kata lain tidak sengaja.
Dengan melihat asuransi diatas, maka seperti halnya KUH Perdata, asuransi disini dapat dipersamakan dengan perjanjian tukar-menukar dengan perjanjian tukar menukar dengan pertimbangan untung-rugi. Berdasarkan KUHD ini, tertanggung yang memutuskan kontrak sebelum habis waktunya akan kehilangan seluruh atau sebagian besar premi yang telah dibayarkan. Hal ini dirasakan sebagai suatu kerugian bagi tertanggung dan di lain pihak hal ini merupakan keuntungan bagi penanggung.

Dengan kata lain, pengertian asuransi dalam UU No.2 Tahun 1992 maupun KUHD tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah. Sementara, ketentuan lainnya dalam KUHD dan undang-undang tersebut yang mengatur tentang teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya dengan kegiatan administrasi dapat diterapkan dalam asuransi Islam.
Pada asuransi islam, perjanjian yang terjadi ialah perjanjian tolong mtnolong bukan perjanjian tukar menukar. Disini bukan untung rugi yang dipikirkan. Jadi, peserta asuransi yang berhenti sebelum pertanggungan berakhir, peserta dapat menarik kembali seluruh iuran yang telah dibayarkan dikurangi dana tabarru’ yang memang telah di ikhlaskan sejak semula untuk tujuan sosial. Bahkan jumlah tersebut masih ditambah dengan keuntungan yang diperoleh selama uangnya dikelola perusahaan.
Dengan kata lain, pengertian asuransi dalam UU No. 2 Tahun 1992 maupun KUHD tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah. Sementara, ketentuan lainnya dalam KUHD dan undang-unadang tersebut yang mengatur tentang teknis pelaksanaan kegiatan administrasi dapat diterapkan dalam asuransi syariah.
Dalam menjalankan usahanya secara syariah, perusaan asuransi dan reasuransi syariah hanya menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi secara syariah.
Namun demikian, fatwa dari Dewan Syariah Nasional MUI ini tidak dapat memiliki kekuatan hukum dalam hukum nasional, karena tidak masuk dalam jenis peraturan perundang-undangan di indonesia. Agar ketentuan dengan fatwa DSN MUI tersebut memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pedoman syariah.
Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:
1.      Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusa haan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi danperusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
2.      Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3.      Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 449/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.

Dari peraturan perundang-undangan yang ada tersebut bisa dilihat adanya kemajuan perangkat pengaturan asuransi syariah, tetapi belum cukup untuk mengakomodasi kegiatan perasuransian Islam di indonesia, terutama apabila dibandingkan dengan perbankan islam yang kerangka dan perangkat peraturan perundang-undangan mulai tampak titik terang dengan adanya upaya memperkenalkan konsep asuransi syariah dalam perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentan Usaha Perasuransianyang sekarang masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU).

2.     Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Pada Ketentuan tentang persyaratan umum perusahaan perasuransian, yaitu Pasal 7 PP No 63 Tahun 1999 disebutkan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor yang dipersyaratkan, harus ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka pada bank umum. Ketentuan ini tidak dapat begitu saja diterapkan. Untuk asuransi syariah, deposito berjangka yang digunakan haruslah yang sesuai dengan syariah. Sementara itu, dalam Pasal 13 PP No. 63 Tahun 1999, investasi perusahaan asuransi dan reasuransi disyaratkan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki tingkat likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk asuransi syariah, persyaratan investasi tersebut harus ditambah dengan jenis investasi yang sesuai dengan syariah.
Ditinjau dari segi premi asuransi, asuransi syariah mempunyai ciri khas yang belum ditampung dalam ketentuan penyelenggaraan usaha. Pada asuransi syariah, premi yang dibayarkan dibagi menjadi dua bagian yang jelas porsinya, yaitu tabungan dan derma. Bagian tabungan ini akan tetap menjadi milik peserta dan pada akhirnya akan dikembalikan pada peserta. Sedangkan bagian derma dari awal perserikatan sudah diikrarkan untuk tujuan itu. Adapun hak dari setiap peserta adalah akan menerima derma dari peserta lainnya sejumlah tertentu apabila suatu musibah menimpa seorang peserta. Selain itu perlu ditambahkan ketentuan mengenai ketentuan bagi hasil yang diterima oleh peserta asuransi / tertanggung dari pihak penanggung atas investasi yang dilakukan.




3.     Fatwa DSN tentang Asuransi
Fatwa Dewan Syariah  Nasional NO: 21/DSN-MUI/X/2001
Tentang Pedoman Umum  Asuransi
Dalam menjalankan usahanya secara syariah, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah hanya menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.21 / DSN-MUI / X / 2001 tentang pedoman umum asuransi syariah. Fatwa tersebut di keluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi secara syariah.
Pertama : Ketentuan Umum Asuransi Syariah
1.      Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2.      Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3.      Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4.      Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5.      Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6.      Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua: Akad dalam Asuransi Syaria
1.      Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru'.
2.      Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3.      Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan:
a.       hak & kewajiban peserta dan perusahaan
b.      cara dan waktu pembayaran premi
c.       jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1.      Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis)
2.      Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1.      Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2.      Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya
1.      Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2.      Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.
Keenam : Premi
1.        Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2.        Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
3.        Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta
4.        Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim
1.        Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2.        Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3.        Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4.        Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Kedelapan : Investasi
1.      Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2.      Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Kesembilan : Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari'ah.
Kesepuluh : Pengelolaan
1.      Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2.      Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3.      Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).
Kesebelas : Ketentuan Tambahan
1.      Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal :  17 Oktober 2001 Oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Fatwa Dewan Syariah Nasional
NO: 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru Pada Asuransi Syariah
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a.         asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah
b.        peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah.
Kedua : Ketentuan Hukum
a.       Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
b.      Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.
Ketiga : Ketentuan Akad
1.      Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong¬ menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.
2.      Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a.       hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu
b.      hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok
c.       cara dan waktu pembayaran premi dan klaim
d.      syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’
1.      Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.
2.      Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu, مؤمّن/متبرَّع له) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’- مؤمّن/متبرِّع).
3.      Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad Wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Kelima : Pengelolaan
1.  Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
2.  Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’.
3.  Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
Keenam : Surplus Underwriting
1. Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
a.       Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.
b.      Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.
c.       Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
d.      Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Ketujuh : Defisit Underwriting
1.    Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman).
2.    Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’.
Kedelapan : Ketentuan Penutup
1.    Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.    Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
            Ditetapkan di Jakarta Tanggal : 23 Maret 2006 / 23 Shafar 1427 H oleh DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Pada asuransi islam, perjanjian yang terjadi ialah perjanjian tolong mtnolong bukan perjanjian tukar menukar. Disini bukan untung rugi yang dipikirkan. Jadi, peserta asuransi yang berhenti sebelum pertanggungan berakhir, peserta dapat menarik kembali seluruh iuran yang telah dibayarkan dikurangi dana tabarru’ yang memang telah di ikhlaskan sejak semula untuk tujuan sosial. Bahkan jumlah tersebut masih ditambah dengan keuntungan yang diperoleh selama uangnya dikelola perusahaan
B.   saran
Kepada pembaca semoga makalah ini bermanfaat untuk semuanya, bisa menjadi salah satu ilmu atau bahan bacaan yang mempunyai nilai manfaat dan untuk dipelajari.