BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Menurut penulis asuransi syariah kini, banyak di buru masyrakat dan
telah semakin di nikmati , ini bisa dilihat dari respons masyarakat yang
berbondong-bondong menjadi nasabah asuransi syariah. Kini nyaris semua perusahaan
asuransi membentuk unit syariah. Bahkan asuransi asing juga ikut membuka unit
syariah. Ini dikarenakan asuransi syariah mempunyai keunggulan bila
dibandingkan dengan asuransi konvensional. Perbedaan dan keunggulannya terdapat
pada prosedur penyimpanan dana, operasional dana asuransi,dan akadnya. Asuransi
syariah sudah didirikan sejak 10 tahun yang lalu, dan hampir setiap tahunnya
selalu mengalami peningkatan. PT. Asuransi Syariah Takaful menunjukan
perkembangan yang cukup pesat, termasuk di wilayah Indonesia Timur, dari segi
premi nasabah yang masuk di asuransi, menunjukan peningkatan 50% di Makassar
tahun 2006. Bahkan tahun 2006 juga di targetkan harus meningkat menjadi dua
kali lipat
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
regulasi asuransi syariah di indonesia?
2.
Bagaimana
undang-undang tentang penyelenggaraan usaha perasuransian?
3.
Bagaiamana
fatwa DSN tentang asuransi?
C.
Tujuan Masalah
1.
Regulasi
asuransi syariah di indonesia
2.
Undang-undang
tentang penyelenggaraan usaha perasuransian
3.
Fatwa DSN
tentang asuransi
BAB II
PEBAHASAN
1.
Regulasi
Asuransi Syariah di indonesia
Dari segi hukum
positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada
UU No.2 Tahun 1922 tentang Usaha Perasuransian yang sebenarnya kurang
mengkomodasi asuransi islam di indonesia karena tidak mengatur mengenai
keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Pasal Undang-Undang ini yang
menyebutkan definisi asuransi sebagai berikut:
“Asuransi
atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih; dengan
mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seorang yang dipertanggungkan”.
Dalam
pasal tersebut tampak masih adanya gambaran perjanjian dua pihak antara
penanggung dan tertanggung untuk memberikan pembayaran atas timbulnya suatu
peristiwa yang tidak pasti yang diperjanjikan. Dalam KUH Perdata (yang
merupakan terjemahan dari Burgelijk Wetbook Hindia-Belanda), perjanjian
pertanggungan ini merupakan salah satu dari “perjanjian untung-untungan” yang
diatur pada pasal KUH Perdata yang disejajar dengan perjudian.
Adapun
bunyi Pasal 1774 KUH Perdata adalah “Suatu perjanjian untung-untungan ialah
suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenai untung ruginya. baik bagi semua
pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum
pasti. Demikian adalah Perjanjian pertanggungan; Bunga Cagak Hidup; perjudian
dan pertaruhan. Dalam pasal in, kegiatan asuransi di istilahkan dengan
pertanggungan.
Pengertian
“peristiwa yang tidak pasti” dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1922 ini
hanya memperluas penjabaran mengenai pengertian “peristiwa yang tidak tentu”
dari definisi asuransi yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Definisi asuransi dalam KUHD terdapat dalam bab kesembilan tentang asuransi
atau pertanggungan atau umumnya yaitu pada Pasal 246 yang berbunyi:
”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu
perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung
dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang
mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”
Dari definisi tersebut disimpulkan:
a. Pihak pertama sebagai pihak yang ditanggung, mengalihkan beban atau
risikonya kepada pihak penanggung.
b. Pihak yang ditanggung membeli hak untuk menerima ganti rugi, atau jaminan
dari yang menjualnya yaitu pihak penanggung menerima sejumlah uang yang disebut
premi.
c. Pihak penanggung mengharapkan keuntungan dari pembelinya, dan dengan
keuntungan ini ia bersedia menanggung kerugian yang mungkin ditimbulkan akibat
bahaya-bahaya yang menjadi pokok pertanggungan
d. Kerugian yang timbul harus merupakan suatu hal yang tak terduga-duga, dan
merupakan suatu bahaya yang tidak dapat diharapkan atau dinantikan dengan
pasti, dengan kata lain tidak sengaja.
Dengan melihat asuransi diatas, maka seperti halnya KUH Perdata, asuransi
disini dapat dipersamakan dengan perjanjian tukar-menukar dengan perjanjian
tukar menukar dengan pertimbangan untung-rugi. Berdasarkan KUHD ini,
tertanggung yang memutuskan kontrak sebelum habis waktunya akan kehilangan
seluruh atau sebagian besar premi yang telah dibayarkan. Hal ini dirasakan
sebagai suatu kerugian bagi tertanggung dan di lain pihak hal ini merupakan
keuntungan bagi penanggung.
Dengan kata lain, pengertian asuransi dalam UU No.2 Tahun 1992 maupun KUHD
tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah.
Sementara, ketentuan lainnya dalam KUHD dan undang-undang tersebut yang
mengatur tentang teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya dengan kegiatan
administrasi dapat diterapkan dalam asuransi Islam.
Pada asuransi islam, perjanjian yang terjadi ialah perjanjian tolong
mtnolong bukan perjanjian tukar menukar. Disini bukan untung rugi yang
dipikirkan. Jadi, peserta asuransi yang berhenti sebelum pertanggungan
berakhir, peserta dapat menarik kembali seluruh iuran yang telah dibayarkan
dikurangi dana tabarru’ yang memang telah di ikhlaskan sejak semula untuk
tujuan sosial. Bahkan jumlah tersebut masih ditambah dengan keuntungan yang
diperoleh selama uangnya dikelola perusahaan.
Dengan kata lain, pengertian asuransi dalam UU No. 2 Tahun 1992 maupun KUHD
tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah.
Sementara, ketentuan lainnya dalam KUHD dan undang-unadang tersebut yang mengatur
tentang teknis pelaksanaan kegiatan administrasi dapat diterapkan dalam
asuransi syariah.
Dalam menjalankan usahanya secara syariah, perusaan asuransi dan reasuransi
syariah hanya menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi
syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat
dijadikan pedoman untuk menjalankan asuransi secara syariah.
Namun demikian, fatwa dari Dewan Syariah Nasional MUI ini tidak dapat
memiliki kekuatan hukum dalam hukum nasional, karena tidak masuk dalam jenis
peraturan perundang-undangan di indonesia. Agar ketentuan dengan fatwa DSN MUI
tersebut memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pedoman syariah.
Peraturan
perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi
syariah yaitu:
1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusa haan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan
asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap
pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip
syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam
Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan
asuransi danperusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang
dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip
syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip
syariah.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18
mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 449/LK/2000 tentang
Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan perusahaan
Reasuransi dengan Sistem Syariah.
Dari peraturan perundang-undangan
yang ada tersebut bisa dilihat adanya kemajuan perangkat pengaturan asuransi
syariah, tetapi belum cukup untuk mengakomodasi kegiatan perasuransian Islam di
indonesia, terutama apabila dibandingkan dengan perbankan islam yang kerangka
dan perangkat peraturan perundang-undangan mulai tampak titik terang dengan
adanya upaya memperkenalkan konsep asuransi syariah dalam perubahan
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentan Usaha Perasuransianyang sekarang masih
dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU).
2.
Undang-Undang
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
Peraturan Pemerintah
No. 63 Tahun 1999 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Pada Ketentuan tentang
persyaratan umum perusahaan perasuransian, yaitu Pasal 7 PP No 63 Tahun 1999
disebutkan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari modal disetor yang dipersyaratkan,
harus ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka pada bank umum. Ketentuan ini
tidak dapat begitu saja diterapkan. Untuk asuransi syariah, deposito berjangka
yang digunakan haruslah yang sesuai dengan syariah. Sementara itu, dalam Pasal
13 PP No. 63 Tahun 1999, investasi perusahaan asuransi dan reasuransi
disyaratkan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki
tingkat likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk
asuransi syariah, persyaratan investasi tersebut harus ditambah dengan jenis
investasi yang sesuai dengan syariah.
Ditinjau dari segi
premi asuransi, asuransi syariah mempunyai ciri khas yang belum ditampung dalam
ketentuan penyelenggaraan usaha. Pada asuransi syariah, premi yang dibayarkan
dibagi menjadi dua bagian yang jelas porsinya, yaitu tabungan dan derma. Bagian
tabungan ini akan tetap menjadi milik peserta dan pada akhirnya akan
dikembalikan pada peserta. Sedangkan bagian derma dari awal perserikatan sudah
diikrarkan untuk tujuan itu. Adapun hak dari setiap peserta adalah akan
menerima derma dari peserta lainnya sejumlah tertentu apabila suatu musibah
menimpa seorang peserta. Selain itu perlu ditambahkan ketentuan mengenai
ketentuan bagi hasil yang diterima oleh peserta asuransi / tertanggung dari
pihak penanggung atas investasi yang dilakukan.
3.
Fatwa DSN
tentang Asuransi
Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 21/DSN-MUI/X/2001
Tentang Pedoman Umum Asuransi
Dalam menjalankan
usahanya secara syariah, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah hanya
menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.21 /
DSN-MUI / X / 2001 tentang pedoman umum asuransi syariah. Fatwa tersebut di
keluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk
menjalankan asuransi secara syariah.
Pertama : Ketentuan Umum Asuransi Syariah
Pertama : Ketentuan Umum Asuransi Syariah
1. Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang
tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersial.
4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana
kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua: Akad dalam Asuransi Syaria
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad
tijarah dan / atau akad tabarru'.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah.
Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan:
a. hak & kewajiban peserta dan perusahaan
b. cara dan waktu pembayaran premi
c. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang
disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga: Kedudukan
Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai
mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal
(pemegang polis)
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang
akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan
perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang
tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban
pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya
1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan
asuransi jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan
hibah.
Keenam : Premi
1.
Pembayaran premi
didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2.
Untuk menentukan
besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya
tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi
kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
3.
Premi yang berasal dari
jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya
dibagi-hasilkan kepada peserta
4.
Premi yang berasal dari
jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim
1.
Klaim dibayarkan
berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2.
Klaim dapat berbeda
dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3.
Klaim atas akad tijarah
sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk
memenuhinya.
4.
Klaim atas akad tabarru',
merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang
disepakati dalam akad.
Kedelapan : Investasi
1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Kesembilan : Reasuransi
Asuransi syariah hanya
dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan
prinsip syari'ah.
Kesepuluh : Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana
yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana
akad tabarru’ (hibah).
Kesebelas : Ketentuan Tambahan
1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh
DPS.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
Tanggal : 17 Oktober 2001 Oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia
Fatwa Dewan Syariah
Nasional
NO: 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru Pada Asuransi Syariah
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a.
asuransi adalah
asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah
b.
peserta adalah peserta
asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah.
Kedua : Ketentuan Hukum
a. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
b. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar
peserta pemegang polis.
Ketiga : Ketentuan Akad
1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah
dengan tujuan kebajikan dan tolong¬ menolong antar peserta, bukan untuk tujuan
komersial.
2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a. hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu
b. hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’
selaku peserta dalam arti badan/kelompok
c. cara dan waktu pembayaran premi dan klaim
d. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’
1. Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.
2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’
(mu’amman/mutabarra’ lahu, مؤمّن/متبرَّع له) dan secara kolektif selaku penanggung
(mu’ammin/mutabarri’- مؤمّن/متبرِّع).
3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad
Wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Kelima : Pengelolaan
1. Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan
dibukukan dalam akun tabarru’.
3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil
berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh
ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
Keenam : Surplus Underwriting
1. Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan
beberapa alternatif sebagai berikut:
a. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.
b. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya
kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.
c. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian
lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh
para peserta.
d. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui
terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Ketujuh : Defisit Underwriting
1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’),
maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk
Qardh (pinjaman).
2. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana
tabarru’.
Kedelapan : Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal : 23 Maret 2006 / 23 Shafar 1427 H oleh DEWAN
SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada asuransi islam, perjanjian yang terjadi ialah perjanjian tolong
mtnolong bukan perjanjian tukar menukar. Disini bukan untung rugi yang
dipikirkan. Jadi, peserta asuransi yang berhenti sebelum pertanggungan
berakhir, peserta dapat menarik kembali seluruh iuran yang telah dibayarkan
dikurangi dana tabarru’ yang memang telah di ikhlaskan sejak semula untuk
tujuan sosial. Bahkan jumlah tersebut masih ditambah dengan keuntungan yang
diperoleh selama uangnya dikelola perusahaan
B. saran
Kepada
pembaca semoga makalah ini bermanfaat untuk semuanya, bisa menjadi salah satu
ilmu atau bahan bacaan yang mempunyai nilai manfaat dan untuk dipelajari.